Cerpen Misteri Tersesat Di Perkampungan Orang Bunian

.com - Cerpen horor wacana orang Bunian. Sekitar tahun 2002 tepatnya sehabis saya menuntaskan sekolah dasar, orangtuaku memutuskan untuk pindah ke sebuah kampung yang masih satu kabupaten dengan tempat tinggal kami sebelumnya. Dari segi jarak, kampung itu tidak terlalu jauh dari kota tetapi alasannya ialah jalannya tidak begitu bagus, perjalanan ke sana jadi terasa lebih lama. Kampung itu terletak di pedalaman dan berdampingan dengan sungai Barumun. Rumah di sana masih sangat jarang-jarang dan begitu malam tiba, kampung itu begitu sepi menyerupai kuburan. Mayoritas penduduknya kala itu masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama. Karena terbiasa tinggal di erat kota dan sehari-harinya menyaksikan jalan raya, saya merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri di perkampungan yang jalannya belum diaspal. Belum lagi harus berhadapan dengan air yang mengandung karat sehingga harus disaring terlebih dahulu sebelum digunakan.

Untuk beberapa hari saya merasa tersiksa berada di tempat tinggal yang baru. Tantangan utamanya sesungguhnya ialah menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang berbeda. Untuk urusan pergaulan, tidak butuh waktu usang saya sudah sanggup berbaur dengan teman-teman baru.

Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari papan. Di samping kiri dan kanan rumah tidak ada rumah lain alasannya ialah jarak antar rumah cukup jauh. Jika malam tiba, saya hanya duduk di ruang tamu sambil menonton televisi alasannya ialah tidak ada sahabat bermain di malam hari.

Waktu itu kebetulan memasuki trend penghujan. Jika hujan deras, jalanan akan menjadi sangat licin dan sangat sulit dilalui kendaraan. Untuk berjalan saja lebih baik tidak menggunakan ganjal kaki alasannya ialah akan sangat sulit berjalan di tanah yang lengket.

Jika malam tiba, maka akan terdengar bunyi kodok yang saling bersahutan seperti mereka saling bernyanyi membentuk paduan suara. Situasi itu benar-benar membuatku tidak nyaman alasannya ialah tidak terbiasa. Apalagi, seringkali bunyi kodok itu terdengar menyerupai memanggil-manggil namaku.

Butuh waktu setidaknya satu bulan untuk terbiasa. Setelah mempunyai banyak sahabat dan mengikuti pengajian, barulah saya mulai terbiasa dengan lingkungan gres itu dan mencoba untuk menikmati setiap perbedaan yang kurasakan.

Pada masa itu, dominan penduduk di sana bekerja sebagai petani. Sebagian besar bercocok tanam di sawah sebagian lagi mengolah lahan kosong. Ayah kebetulan mempunyai sebidang tanah di area persawahan sehingga Ayah juga memutuskan untuk mencoba bercocok tanam.

Aktivitas bercocok tanam di sawah dan pemandangannya yang hijau merupakan satu-satunya hal yang membuatku jatuh cinta dengan kampung itu. Melihat tumbuhan padi dan bunyi orang mengusir burung benar-benar berkesan bagiku.

Waktu itu, area persawahan masih berbatasan dengan hutan kampung. Sejauh mata memandang masih sanggup terlihat pepohonan lebat. Pemandangan menyerupai itu tentu saja tidak pernah kutemukan sebelumnya. Sambil duduk bengong saya biasanya bertanya dalam hati ada apa di dalam hutan itu.

Jika sudah bengong terlalu lama, Ayah biasanya akan menghampiriku dan memintaku untuk membantunya. Tujuan hanya biar saya tidak termenung dan kosong. Ayah juga terus mengingatkan saya untuk tidak termenung untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

Sambil membantu Ayah mencabut rumput, saya balasannya bertanya padanya wacana apa yang ada di dalam hutan itu. Sambil tetap bekerja Ayah menyampaikan bahwa di hutan itu kemungkinan ada binatang buas dan Ayah eksklusif mengingatkanku untuk tidak pergi ke hutan.

"Tapi, Adi katanya sering mancing ke sana ya?", ucapku sambil menunjuk ke arah hutan.

"Ya, ia kan mancing sama Ayahnya. Lagian kan mereka sudah usang tinggal di sini jadi sudah tahu seluk beluk hutan itu."

"Aku boleh gak ikut mereka kapan-kapan?"

"Ngapain? Kamu kan gak suka mancing. Emangnya kau tahan jalan sejauh itu? Lagian itu kan hutan gak ada jalannya. Jalannya ya dari semak-semak itu lah niscaya gatal".

"Tapi boleh kan? Aku penasaran. Kan perginya rame-rame sama Ayahnya Adi juga", rayuku.

Mungkin alasannya ialah sudah capek Ayah pun mengiyakan permintaanku. Aku pun tersenyum ke arahnya sambil menuntaskan pekerjaanku biar sanggup pulang lebih awal dan menceritakan rencanaku kepada Adi.

Sepulangnya dari sawah saya eksklusif berkunjung ke rumah Adi. Sore itu ia terlihat tengah sibuk mengangon kambin. Aku pun menceritakan rencanaku untuk ikut mancing dengan mereka ke hutan. Dia pun mengiyakan dengan antusias.

Dua hari kemudian, sekitar pukul 10 pagi Adi tiba ke rumah dan mengajakku untuk memancing. Aku pun eksklusif pamit ke Ibu sambil menyiapkan kebutuhan yang harus kubawa. Tidak ada alat pancing, hanya menyiapkan air minum dan pakaian panjang biar tidak gatal.

"Kamu gak bawa pancing?", tanya Adi.

"Gak. Aku gak pinter mancing. Aku ikut-ikut aja ya. Cuma ingin tau pengen lihat hutan itu kayak apa dalamnya".

"Owala. Kirain pengen mancing", sambung Adi sambil geleng kepala.

Aku hanya tersenyum dan segera menarik tangan Adi untuk pergi. Kami pun segera berjalan ke rumah Adi. Di sana sudah ada Ayah Adi yang sedang menyiapkan beberapa pancing dan peralatan lainnya.

"Kok Ayahmu bawa senter Di?", bisikku kepada Adi ketika melihat sebuah senter kepala berada di atas topi Ayah Adi.

"Buat jaga-jaga manatau kemaleman".

Tidak berapa usang menunggu, kami balasannya berangkat memancing. Di perjalanan, kami bertemu dengan Ayahku. Ia lantas mengingatkanku untuk tidak macam-macam ketika di hutan. Ia juga mengingatkan untuk tidak buang air kecil sembarangan.

Setelah berjalan kira-kira setengah jam, kami pun tiba di ujung persawahan dan semakin erat ke hutan. Kegiatan memancing dimulai dari titik itu. Ayah Adi segera memasang pancingnya begitu juga Adi. Aku berjalan di sebelah Adi sambil terus memperhatikan semak belukar di hadapanku.

Beberapa menit berikutnya, kami terus berjalan semakin ke dalam memasuki hutan. Seperti yang dijelaskan Ayah, tidak ada jalan setapak terlihat di sana. Kami berjalan melalui semak belukar dan membuka jalan kami sendiri.

Paham jikalau saya belum terbiasa, Adi pun selalu membantu membukakan jalan untukku. Dia memintaku untuk berjalan di belakangnya sehingga saya sanggup mengikuti jejak kakinya. Tidak jauh di depan kami, Ayah Adi tengah asik dengan pancingannya.

"Gimana? udah lihat kan isinya?", tanya Adi sambil tersenyum ke arahku.

"Udah. Semak ya? banyak nyamuk lagi".

Adi tertawa mendengar jawabanku. Ia juga segera mengeluarkan autan dari kantungnya dan menyuruhku untuk memakainya. Tanpa buang waktu eksklusif saja kupakai autan itu hingga habis. Aku tidak berfikir jikalau Adi akan membutuhkannya nanti.

"Tenang aja, yang semak cuma di sini kok. Ini kan masih perbatasan. Entar agak ke dalam udah gak semak kok. Cuma ya gitu, banyak lubang dan parit. Jalannya juga harus hati-hati alasannya ialah banyak akar pohon".

Aku tidak berbicara lagi. Aku terus berjalan mengikuti Adi dan sesekali mengingatkannya bahwa Ayahnya sudah berjalan cukup jauh di depan kami. Adi tersenyum dan tampaknya ia tahu bahwa saya mulai cemas kalau-kalau terpisah dari Ayahnya.

"Udah hening aja. Aku kan udah serijng ke sini jadi gak akan tersesat", jawab Adi begitu yakin.

Jujur saja saya tidak begitu cemas alasannya ialah saya percaya dengan ucapan Adi. Lagipula ia memang sudah sering memancing di sana jadi mustahil tersesat.

Adi memancing dari satu titik ke titik lainnya dan terus berjalan ke depan. Sesekali kami harus melompat alasannya ialah jalan yang dilalui berlubang atau terhalang oleh akar pohon. Hutan itu memang termasuk rawah jadi aneka macam cekungan yang berisi air dan sebagian besar tanahnya lembek.

Sejauh itu Adi sudah menerima beberapa ekor ikan dan jiregennya sudah mulai berat. Beberapa kali Adi memamerkan hasil pancingannya kepadaku dan saya jujur saja merasa kagum sekaligus bahagia alasannya ialah itu merupakan pengalamn pertamaku.

Saat Adi kemabli melempar pancingnya, saya tersadar bahwa Ayah Adi sudah tidak terlihat. Aku lantas mengingatkan Adi dan ia sekali lagi mencoba menenangkanku.

"Udah hening aja. Entar juga ketemu kok. Lagian kau takut apa sih di hutan ini? Gak ada apa-apa kok. Cuma pohon aja".

"Entar jikalau ada binatang buas gimana?"

"Hewan buas apa? Gak ada. Paling ular sama babi doang. Udah yang penting jangan jauh-jauh".

"Tapi kau yakin kan gak akan tersesat? Kita udah jalan jauh loh ini".

"Yakin! Takut banget sih".

Aku tidak lagi membalas ucapannya alasannya ialah tiba-tiba saya merasa ingin buang air kecil. Aku mencoba menahannya beberapa kali tapi gerak-gerikku itu ternyata terbaca oleh Adi.

"Udah jikalau mau kencing, kencing aja di situ jangan ditahan-tahan. Ntar sakit gres tahu".

"Dimana?", tanyaku sambil nyengir menahan kencing.

"Di mana aja terserah. Itu tuh di situ", Adi menyampaikan sebuah pohon yang rimbun di belakang kami.

"Yakin di situ?"

"Yakinlah! emangnya kenapa. Udah. Apa perlu kukawani?".

Tidak berniat berdebat lagi saya pun segera berjalan ke arah pohon itu. Sebelum buang air kecil, saya memperhatikan pohon itu lekat-lekat dan teringat pesan Ayah untuk tidak buang air kecil sembarangan. Setelah meminta izin kau balasannya kencing di bali pohon itu.

Begitu selesai dan merasa lega, saya berbalik ke arah parit tempat Adi memancing. Dalam seketika saya menjadi sangat cemas alasannya ialah Adi tidak ada di tempat sebelumnya. Segera saya mengamati sekeliling untuk mencari keberadaan Adi.

Saat saya sadar Adi tidak lagi ada di sana saya mulai berteriak memanggil namanya. Sambil berjalan semakin ke dalam saya terus memanggil Adi tapi tidak juga mendapatkan jawaban. Tidak berani bergerak lebih jauh saya berhenti dan mencoba mengamati sekelilingku.

Untuk sesaat saya mencoba untuk hening dan berfikir bahwa Adi mungkin mengerjaiku. Aku lantas mencoba berbicara dengan tegas dan meminta Adi untuk keluar dari persembunyiannya. Tapi sehabis kucoba berkali-kali, Adi tidak juga keluar.

Aku kemudian memutuskan untuk berputar dan kembali ke posisi awal di erat pohon dimana saya buang air kecil. Kupandangi lagi pohon itu dan parit yang berada tak jauh di depannya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, saya pun tersadar bahwa tempat itu benar-benar beda dengan tempat terakhir kali saya berbincang dengan Adi.

Pohonnya memang tampaknya sama tapi parit dan lingkungan sekelilingnya benar-benar beda. Aku mencoba mendekati parit dan mencari sebatang kayu yang sebelumnya kutancapkan sebagai tanda tapi tidak menemukan batang itu. Aku juga mencari wadah air minum yang kutinggalkan di erat parit tapi juga tidak ada.

Kupastikan lagi di sekitar tempat itu, sama sekali tidak terlihat jejak kaki atau bekas semak yang tumbang alasannya ialah dipijak. Padahal seharusnya ada semacam jejak alasannya ialah setiap berjalan Adi sesekali menumbang pohon kecil dan menginjaknya biar membuka jalan.

Aku yang sadar telah tersesat balasannya mulai panik. Jantungku berdegup kencang dan dengan bunyi gemetar saya mencoba memanggil Adi atau Ayahnya. Tidak berani berjalan lebih jauh ke depan, saya balasannya memutuskan untuk berjalan ke belakang setidaknya saya berfikir itu ialah jalan untuk kembali ke perbatasan.

Meskipun tidak yakin itu ialah arah yang benar saya tetap terus berjalan lurus sambil memanggil Adi. Mencoba untuk tidak panik saya terus berjalan sambil mengucapkan doa yang sanggup kubaca kala itu. Tapi belum selesai doa tersebut kubaca saya sudah kembali panik dan kembali berteriak memanggil Adi.

Di antara rasa panik dan cemas saya terus berjalan dan mencoba menambah kecepatanku. Saat itu saya mulai berfikir bahwa Adi dan Ayahnya mungkin sudah berjalan cukup jauh ke dapan dan saya sudah makin jauh dari mereka. oleh alasannya ialah itu satu-satunya harapanku ialah berjalan lebih cepat biar tiba ke perbatasan.

Semakin cepat saya berjalan semakin cepat pula degup jantungku. Keringat mulai membanjiri tubuhku dan sebagian tubuhku sudah mulau luka akhir terkena batang tumbuhan, akar, atau duri tumbuhan yang kulalui. Tapi seolah tidak mencicipi sakit saya terus berjalan semakin cepat dan semakin cepat.

Aku terus berjalan dan sesekali berlari tanpa memperhatikan sekelilingku alasannya ialah rasa takut yang berlebihan. Pandanganku mulai terbatas alasannya ialah tiba-tiba langit menjadi mendung dan gelap. Saat rasa letih mengalahkanku, saya kahirnya tersadar bahwa saya sudah berada di perbatasan antara hutan dan sawah.

Dengan nafas terengah-engah saya behenti dan menjatuhkan tubuhku ke sebuah batang pohon yang agak miring. Untuk sesaat saya berhasil menyunginkan senyum dan mencoba mengelap keringat yang bercucuran di wajahku.

Kuamati sekeliling dan saya begitu yakin bahwa area luas di hadapanku ialah persawahan, tempat yang hampir setiap hari kudatangi. Hari tampaknya sudah hampir malam sehingga tidak lagi terdengar bunyi orang mengusir burung dan persawahan terlihat sudah sepi.

Setelah merasa cukup kuat, saya memutuskan untuk kembali berjalan. Kali ini saya berjalan dengan lebih santai alasannya ialah merasa sudah berada di tempat yang kondusif dan tidak akan tersesat. Perasaanku semakin hening alasannya ialah kurang jelas kudengar bunyi beberapa orang yang sedang mengobrol.

Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak sambil sesekali memperhatikan sekelilingku mencoba untuk mengenali tempat itu. Tapi semakin jauh saya berjalan semakin saya tersadar bahwa tempat itu sama sekali tidak kukenali.

Aku sudah berjalan cukup jauh melewati beberapa petak tumbuhan padi dan tumbuhan singkon tetapi tidak ada lokasi yang kukenali sama sekali. Meski sadar bahwa saya tidak berada di kawasan persawahan kampungku saya tetap merasa hening alasannya ialah setidaknya saya berada di sebuah kampung.

Tidak jauh dari tempatku berjalan, bunyi orang mengobrol itu semakin besar lengan berkuasa dan terdengar semakin dekat. Aku lantas kembali berjalan sambil mencari sumber bunyi itu. Suara itupun semakin erat dan saya begitu yakin akan menemukan orang-orang itu.

Saat saya yakin sudah semakin dekat, bunyi itu perlahan-lahan justru menjauh. Semakin usang semakin jauh dan tiba-tiba menghilang. Aku lantas mencoba berteriak memanggil mereka berharap akan ada seseorang yang mendengar suaraku. Tapi ketika itu, persawahan itu menjadi sangat sepi dan hanya suaraku yang sanggup kudengar.

Dalam kondisi frustasi saya terus berjalan sementara malam sudah tiba. Suara jangkrik sudah mulai terdengar dan binatang-binatang kecil mulai berterbangan di sekelilingku. Aku berjalan merayap-rayap alasannya ialah tidak ada cahaya sama sekali. Malam itu sangat gelap dan dalam sesaat saya tidak sanggup melihat apa-apa lagi layaknya orang buta.

Tak usang kemudian saya terjatuh terjerembab ke atas tanah berlumpur alasannya ialah sesuatu yang keras tersandung kakiku. Aku yang sudah lemas balasannya tergeletak pasrah tanpa berfikir untuk bangun kembali. Dalam beberapa detik kunikmati sensasi lembap dan gatal yang menyerang wajahku dan kesadaran pun hilang.

 tepatnya sehabis saya menuntaskan sekolah dasar Cerpen Misteri Tersesat Di Perkampungan Orang Bunian

Keseokan harinya, ketika saya tersadar, saya sudah berada di atas tempat tidurku. Di sampingku terlihat Ayah dan Ibu degan wajah tegang mencoba untuk mengajakku berkomunikasi. Tak jauh dari tempat tidur kulihat Adi tersenyum ke arahku. Tak usang sehabis itu beberapa orangtua juga terlihat hadir untuk memastikan kondisiku.

Saat saya teringat insiden yang saya alami saya pun menangis memeluk Ibu. Dengan bunyi terbata-bata saya menjelaskan apa yang terjadi. Salah seorang kakek yang dituakan di kampung itu pun kemudian menjelaskan bahwa saya telah disesatkan oleh orang bunian dan sawah yang kulihat itu ialah pekampungan orang bunian.

Menurut kisah Adi, Ia dan Ayahnya sangat panik ketika sadar saya menghilang. Awalnya Adi heran alasannya ialah saya tidak kunjung kembali dari buang air kecil. Setelah memastikan saya tidak ada, Adi segera memanggil Ayahnya dan mulai mencariku.

Hampir empat jam Adi dan Ayahnya mencariku di sekitar kawasan itu. Tapi alasannya ialah hari sudah gelap dan saya tidak kunjung ditemukan, Ayah Adi memutuskan untuk pulang dan mmeinta derma warga. Dengan derma beberapa orangtua, saya balasannya ditemukan tergeletak di bawah sebuah pohon tidak jauh dari pohon tempat saya buang air kecil.
Sumber http://hamilhamil1.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Dan Pembahasan Pesawat Sederhana

Contoh Soal Dan Pembahasan Perihal Bundar

Contoh Soal Dan Pembahasan Listrik Statis Aturan Coulomb