Cerpen Misteri Begu Ganjang Hantu Panjang Pencabut Nyawa

.com - Cerpen horor wacana begu ganjang. Kisah ini berlangsung pada tahun 2007 sekitar pertengahan bulan juni bertepatan dengan liburan panjang. Waktu itu, saya dan kakak pertamaku memutuskan untuk menikmati hari libur di kampung nenek. Nenek tinggal di sebuah kampung terpencil di kawasan Labuhan Batu, Sumatera Utara. Sebenarnya sudah menjadi tradisi keluarga kami untuk berkunjung ke rumah nenek di hari libur. Karena orangtua Ayah dan Ibu sama-sama masih hidup, maka kami bebas menentukan untuk berlibur ke mana. Aku dan kakak pertama menentukan untuk berlibur ke rumah orangtua dari Ibu sedangkan kakak dan adikku menentukan untuk berlibur ke rumah orangtua dari Ayah yang waktu itu masih tinggal di kota Medan. Satu hari sesudah mendapatkan rapor, Ayah eksklusif mengantar kami ke rumah nenek di pagi hari. Dua hari sebelumnya, kakak dan Ibu sudah menyiapkan banyak sekali keperluan yang akan dibawa. Sementara kakak dan adik berangkat ke kota Medan naik kereta api. Karena sudah terbiasa, kakak tidak perlu diantar dan beliau menerima kiprah untuk menjaga adik selama berlibur.

Sebenarnya, saya lebih suka berlibur ke kota Medan lantaran banyak tempat hiburan dan orangtua Ayah termasuk orang berada sehingga setiap selesai pekan biasanya kami akan dibawa jalan-jalan ke mal atau mengunjungi tempat wisata di kawasan Berastagi.

Akan tetapi, berhubung tahun kemudian saya sudah menentukan liburan ke sana, maka tahun ini giliranku untuk berlibur ke kampung orangtua Ibu. Orangtua Ibu merupakan keluarga yang sederhana. Sejak Ibu menikah, mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang semenjak saya kecil tidak pernah dimodifikasi.

Saat itu usiaku 11 tahun dan saya duduk di kelas V sekolah dasar, sedangkan kakak dikala itu sudah duduk di kursi kelas X. Hampir setiap tahun saya kebagian jatah liburan bersama kakak alasannya yaitu adik tidak begitu suka bermain dengan kakak.

Saat tiba di kampung nenek, rumahnya tertutup dan tampaknya tidak ada orang. Kami memutuskan untuk menunggu di teras depan. Sambil menunggu, Ayah berpesan kepada kakak untuk menjaga saya dan membantu nenek di rumah.

Tak berapa lama, terlihat nenek berjalan bersama beberapa orang ibu-ibu dan mereka semua terlihat mengenakan kerudung. Begitu melihat kami, nenek eksklusif tersenyum dan berjalan lebih cepat. Nenek menyampaikan pada temannya bahwa cucunya sudah datang. Dan perbincangan memakai bahasa jawa yang terjadi benar-benar lucu.

"Udah usang Le?", sapa nenek begitu hingga di depan rumah.

Aku tersenyum dan menyampaikan bahwa kami gres saja sampai. Ayah eksklusif menyalami tangan nenek begitu juga saya dan kakak. Saat tiba giliranku, nenek segera mencium pipiku dan mengelus rambutku.

Nenek segera membuka pintu dan mempersilahkan kami untuk masuk. Nenek pamit sebentar ke dapur dan tak berapa usang ia keluar sambil membawa minuman dan sepiring keripik pisang. Ia menyuruh kami untuk minum dan menyantap keripik tersebut.

"Ibu darimana?", tanya Ayah.

"Oh iya tadi habis melayat. Ada yang meninggal di kampung sebelah", jawab nenek sambil menuangkan teh ke gelas yang kosong. "Kakek juga masih di sana", lanjutnya.

"Siapa yang meninggal Nek?", sambung kakak.

"Dan kenapa?", sambungku tidak mau ketinggalan.

Ayah tersenyum ke arah nenek dan segera memintaku untuk bergantian dalam bertanya supaya nenek sanggup menjawabnya dengan santai. Aku lantas tersenyum dan membiarkan nenek berbicara.

Nenek menyampaikan bahwa kemarin malam telah terjadi insiden yang menggemparkan di kampung sebelah. Seorang laki-laki lajang tiba-tiba berteriak histeris dikala mandi di sumur belakang rumahnya.

Di kampung ini, kebanyakan warga memang mempunyai sumur yang terpisah dari rumah. Biasanya berada di halaman paling belakang di tanah yang lebih rendah. Dan biasanya, para cowok seringkali mandi agak malam lantaran gres pulang kerja.

Dengan serius nenek melanjutkan ceritanya. Kata nenek, dikala Ayah laki-laki itu dan beberapa kerabat menyelidiki ke sumur, laki-laki itu sudah tergelatk di atas papan pemandian. Mereka lantas segera membawa laki-laki itu pulang.

Setibanya di rumah, barulah terlihat dengan terang wajah laki-laki itu pucat dan terdapat bekas menyerupai bekas cekikan di penggalan lehernya. Beberapa orang berusaha menyadarkan laki-laki itu tetapi ternyata laki-laki itu sudah meninggal.

Cerita nenek tentu saja membuatku merinding. Tidak hanya aku, kaka dan Ayah juga terlihat cemas. Karena penasaran, Ayah kembali bertanya mengenai penyebab janjkematian laki-laki tersebut.

"Begu ganjang! Kata orang-orang situ sih kena begu ganjang!", jawab nenek agak memelankan suaranya.

"Begu ganjang? apa itu Nek?", tanyaku kemudian.

"Begu ganjang itu katanya hantu orang Batak Toba. Begu panjang itu artinya hantu panjang," jawab nenek sekenanya.

"Kenapa dibilang panjang Nek?", tanya kakak sambil mengunyah keripik.

"Menurut kisah orang-orang, begu ganjang itu mempunyai perawakan yang tinggi besar. Semakin dilihat ke atas akan semakin tinggi dan kemudian beliau akan mencekik orang yang melihatnya itu hingga mati," sambung Ayah.

"Seram banget. Tapi kata Nenek tadi itu hantu orang Batak, kok sanggup ada di sini? Kan di sini kebanyakan orang Jawa?", tanyaku.

Nenek pun kemudian menjelaskan bahwa kampung sebelah mayoritasnya memang orang suku Jawa namun di penggalan ujung kampung banyak juga orang Batak Toba dan orang Karo. Nenek kemudian menjelaskan kepada kami bahwa gosip begu ganjang mulai santer terdengar sesudah beberapa warga mengaku diganggu.

"Oya Nek, emangnya begu ganjang itu gimana asal usulnya?", tanya kakak.

"Udah ah kak, gak usah dibahas terus. Entar malah jadi takut. Lagipula itu kan masih dugaan orang kampung. Belum tentu benar. Bisa jadi janjkematian laki-laki itu yaitu sebuah pembunuhan", jawab Ayah.

Nenek mengiyakan balasan Ayah dan memintaku untuk memasang televisi. Entah kebetulan atau bagaimana, pagi itu sebuah agenda di salah satu channel juga membahas misteri begu ganjang. Aku dan kakak sontak saling pandang kemudian menyaksikan agenda itu dengan serius.

Ayah terlihat menghabiskan teh di gelasnya kemudian pamitan kepada Nenek. Karena kakek tidak kunjung pulang, Ayah hanya titip pesan sekaligus menitipkan kami kepada nenek. Nenek sempat menunjukkan Ayah untuk makan sebelum pulang tapi Ayah tampaknya terburu-buru.

Aku dan kakak kemudian mencium tangan Ayah sebelum Ayah pergi. Ayah kembali mengingatkan kami untuk tidak badung dan membantu kakek nenek di rumah. Kami segera mengiyakan lantaran tengah asyik mendengar agenda yang membahas begu ganjang itu.

Aku dan kakak memasang wajah serius dan memasang indera pendengaran dengan baik saking penasarannya dengan begu ganjang itu. Begitu serius sampai-sampai kami sama-sama menggerutu dikala tiba-tiba listrik padam.

"Yaaaa,,,, nenek lampunya mati ya?", tanya kakak.

"Iyo... mati. Di sini memang sering mati lampu. Udah seminggu kayak gini", terang nenek.

"Yaa,,,, orang lagi seru juga. Belum juga sanggup info apa-apa", repetku.

Tidak berapa usang sesudah kepergian Ayah, kakek pun pulang dengan mengendarai sepeda. Ia menyandarkan sepedanya di batang pohon jambu kemudian menghampiri kami yang sudah menunggu di teras rumah sambil menyunggingkan senyuman ke arahnya.

Sekitar pukul 2 siang sehabis makan, saya memutuskan untuk bermain ke rumah sepupu yang terletak di kampung penggalan ujung. Aku meminjam sepeda kakek dan dengan susah payah mencoba mengendarainya lantaran posisi tempat dudunya yang masih terlalu tinggi untukku.

Setibanya di rumah Paman, sepupuku Tino eksklusif menyambutku dengan gembira. Dia memanggil Ayah dan Ibunya yang dikala itu sedang berada di dapur. Tak berapa lama, paman dan bibi pun keluar sembari menyambutku.

"Kapan nyampek Le? siapa yang ngantar tadi?", tanya Paman.

"Tadi pagi Palek, diantar Ayah, tapi Ayah udah pulang lantaran buru-buru mau masuk kerja".

"Oh, udah makan kamu? makan sana Bulek nyayur tumis kangkung kesukaanmu itu", sambung Bibi.

"Aku gres aja makan Bulek".

Setelah berbincang panjang lebar mengenai kabar keluarga, saya dan Tino memutuskan untuk bermain di halaman belakang. Sambil memakan jambu yang diberikan Tino, saya pun mulai membuka perbincangan wacana warga kampung tetangga yang meninggal.

"Tino, kakak yang meninggal itu katanya kena begu ganjang ya?", tanyaku.

"Abang mana? kampung sebelah? Iya, kok kau tahu?".

"Kata nenek gitu. Emang benaran ada begu ganjang di sini?"

"Katanya sih gitu. Soalnya udah dua kali kejadian kayak gini. Bulan kemudian juga ada yang ninggal gak wajar. Kayak kakak ini juga. Katanya ada bekas cekikan gitu juga", jawab Tino sambil mengunyah jambu.

"Ih angker kali! Tapi kenapa sanggup ada begu ganjang No? Emang hantunya gimana sih?", tanyaku.

"Kata opung kawanku yang tinggal di kampung itu, begu ganjang itu tinggi besar dan suka membunuh orang. Katanya, begu ganjang itu dipelihara sama orang Batak dan harus dikasih kayak tumbal gitu atau disuruh membunuh orang yang gak mereka suka".

"Emangnya buat apa dipelihara?"

"Gak tahu. Pokoknya gitulah kata kawanku. Kan di kampung itu banyak orang Batak. Udaha ah. Seram ngomongin itu. Mendingan kita ke sungai yuk, cari ikan", ajak Tino.

Karena sudah usang tidak bermain ke sungai, saya pun segera mengiyakan tanpa fikir panjang. Sudah semenjak awal saya berencana untuk bermain sambil mencari ikan di sungai atau untuk sekedar berenang. Setelah pamit, kami pun segera berangkat.

Kami tidak pergi berdua, Tino mengajak beberapa temannya dan sebagian besar dari mereka sudah kenal denganku lantaran hampir tiap tahun ketemu. Setibanya di sungai, kami eksklusif mencari ikan dengan jaring dan sebagian anak membawa pancing.

Setelah mencari ikan cukup lama, kami kesudahannya berhasil mengumpulkan beberapa ekor ikan yang kemudian kami bakar dan kami makan bersama. Kebersamaan menyerupai itu merupakan suasana yang selalu saya rindukan jikalau usang tidak berkunjung.

Sesuai dengan pesan yang kami terima, kami memutuskan untuk segera pulang sebelum hari terlalu sore. Sebelumnya kami sudah sempat berenang cukup usang hingga saya merasa kedinginan. Sekitar jam 5 sore, kami pun hingga di rumah Tino.

Karena sudah sore, saya memutuskan untuk mandi di rumah Tino dan meminjam pakaiannya. Setengah jam kemudian, saya mengajak Tino untuk bermain dan menginap di rumah nenek. Paman dan Bibi pun mengizinkan kami untuk pulang sore itu.

Sekitar jam 6 kurang, kami berangkat dari rumah Tino. Hari sudah mulai gelap dan mulai terlihat awan merah di langit menandakan magrib akan segera tiba. Tino menyetir sepeda kakek sementara saya di bonceng di kursi belakang.

Sama menyerupai aku, lantaran sepeda kakek terlalu tinggi, Tino juga agak kesulitan mengendarainya. Sesekali kami berdua tertawa geli lantaran nafas Tino terengah-engah dan beberapa kali kami hampir jatuh. Karena lelah, Tino memintaku untuk gantian.

Aku mengiyakan permintaannya tapi akan mulai bersepeda sesudah melewati jalan yang menanjak. Kami pun berjalan beberapa meter sambil mendorong sepeda melewati jalan yang menanjak. Tidak terasa hari semakin gelap dan tiba-tiba saja saya menjadi cemas lantaran jalanan tampa begitu sepi.

"Udah gelap No? Gimana ini? cepat yuk".

"Gimana kenapa sih? Kan udah dekat".

"Tapi kan udah gelap. Aku takut entar ada hantu", saya berjalan lebih cepat dan tiba lebih dulu di tanjakan.

Di belakangku terlihat Tino berjalan dengan santai dan berusaha untuk mengatur nafasnya. "Tunggu lah. Masih capek saya loh. Kau pulak berat kali jadi ngos-ngosan saya memboncengmu".

"Yaudah cepat, kini kan saya yang bonceng".

Begitu Tino hingga saya eksklusif menaiki sepeda dan memintanya untuk naik. Aku pun segera mendayung sepeda begitu Tino naik. Karena jalan berikutnya merupakan turunan, tidak begitu sulit membonceng Tino.

Tapi sialnya, ternyata saya terlalu kencang mendayung sepeda pada permulaan tadi sehingga sepeda berjalan cukup cepat dan semakin cepat dikala melalui turunan. Sadar akan kecepatan kami yang terlalu cepat, Tino memintaku untuk mengerem sepeda.

lantaran sepeda kakek tidak punya rem, maka saya mencoba mengerem dengan cara menahan ban sepeda dengan kaki, yaitu dengan cara menempelkan bantalan sandal ke ban. Aku pun berusaha mengerem semaksimal mungkin hingga kesudahannya kecepatannya berkurang.

Aku berhasil mengendalikan laju sepeda dan hingga di satu titik laju sepeda terhenti. Tino galau dan segera turun. Ia bertanya kenapa berhenti dan saya hanya menggeleng. Bukannya fokus pada sepeda, mataku justru tertuju ke jalanan yang semakin sepi.

Di kiri dan kanan kami yaitu kebun karet dan tidak ada satupun rumah di sana. Tino mencoba mengamati apa yang salah dengan sepeda itu dan kesudahannya tahu bahwa rantai sepedanya lolos. Tino memintaku untuk minggir dan mencoba memperbaiki rantai sepeda.

Hari yang mulai gelap dan lingkungan yang sepi membuatku menjadi cemas. Entah mengapa fikiranku selalu terutuju pada gosip begu ganjang. Perasaan takut pun mulai menghantuiku.

"Udah belum No? Kok udah gelap ya? Padahal belum magrib kan?", tanyaku panik.

"Udah, ayok. Kamu kan yang bonceng?"

Tanpa membuang waktu saya mengambil kendali sepeda dan mulai mendayung. Tino membantu mendorong sebelum kesudahannya beliau melompat ke kursi belakang. Aku mencoba mendayung dengan berpengaruh supaya sepeda daat melaju cepat.

Usahaku tampaknya tidak sia-sia lantaran sepeda berhasil melaju dan saya mulai merasa tenang. Tidak jauh dari tempat kami sudah mulai terlihat cahaya lampu dari salah satu rumah di ujung jalan. Tapi gres saja melewati sebuah jembatan, sesuatu yang tidak terduga pun terjadi.

Sebatang kayu karet yang sudah lapuk terjatuh dari pohon sempurna di depan kami sehingga menciptakan saya dan Tino terkejut. Tino melompat dari kursinya sementara saya dengan panik eksklusif menghentikan sepeda. Karena berhenti mendadak, saya pun terjatuh dari sepeda dengan posisi sepeda menimpah kaki.

Saat mencoba untuk berdiri, dikala itulah saya menyaksikan sosok hitam yang kurang jelas berkelabat tidak jauh dari kami. Tino yang berada di belakangku segera membantu sementara saya berusaha untuk memastikan apa yang saya lihat.

Entah lantaran parno atau lantaran panik, sosok tersebut berhasil kuamati dan dengan terang saya melihat ukurannya yang semakin usang semakin tinggi. Sosok itu hanya menyerupai bayangan hitamtapi tidak terang wujudnya.

Sontak saja hal itu membuatku menjerit histeris. Tino yang kaget dengan jeritanku pun kesudahannya ikut menjerit meskipun beliau tidak tahu apa yang terjadi. Jeritan kami ternyata menerima reaksi dari beberapa warga yang rumah tidak jauh dari lokasi kami jatuh.

Tidak usang beberapa warga menghampiri kami dan berusaha membantu ku yang masih terduduk lemas di bawah sepeda. Mereka menduga kami teriak lantaran terjatuh dari sepeda atau kaget lantaran batang pohon yang jatuh tiba-tiba. Tapi dikala saya menceritakan apa yang kulihat, mereka pun terkejut.

Beberapa orang tidak percaya dengan apa yang kuceritakan lantaran Tino mengaku tidak melihat apa yang kulihat. Tino juga menyampaikan bahwa beliau ikut teriak lantaran kaget. Warga kemudian beranggapan bahwa saya hanya berimajinasi lantaran terlalu takut.

Karena saya masih shok dan lemas, salah seorang Ibu menyuruh kami untuk beristirahat sebentar. Dia kemudian menyampaikan akan menyuruh suaminya mengantar kami jikalau kami tidak berani pulang. Tapi tidak berapa usang ternyata kakek terlihat berjalan kaki di jalanan.

Saat tahu kami berada di rumah salah satu warga, kakek segera menghampiri dan berbincang-bincang dengan warga. Tino pun menceritakan kejadian yang kami alami kepada kakek. Setelah berterimakasih, kakek kesudahannya membawa kami pulang.

 sekitar pertengahan bulan juni bertepatan dengan liburan panjang Cerpen Misteri Begu Ganjang Hantu Panjang Pencabut Nyawa

Sesampainya di rumah, nenek pun memarahi kami lantaran pulang magrib-magrib. Tino lantas membela diri dan menyampaikan bahwa kami sudah berangkat jam tengah enam tapi entah kenapa usang sekali sampainya. Tino mengaku heran lantaran seharusnya perjalanan dari rumahnya ke rumah nenek paling usang hanya 20 menit.

Sambil memberi minyak angin dan memijat keningku, nenek menasihati kami untuk tidak lagi pergi terlalu sore. Jika sudah magrib lebih baik tidur di rumah Tino saja. Sementara kakak mencoba mengoleskan minyak angin ke kakiku sambil menatapku dengan cemas.

"Jangan-jangan adik memang lihat begu gan..",

"Eithh,,, sudah jangan dibahas lagi. Sudah sana, buatkan kakek teh manis", potong kakek.

"Tapi, saya takut ke belakang kek?".

"Takut opo? Urang di rumah kok takut. Sana Tino temani kakakmu", suruh kakek.

Tino dan kakak pun pergi ke dapur untuk menyebarkan kakek teh manis. Sementara saya mulai terlelap lantaran merasa lelah. Saat saya hampir tertidur, sayup-sayup kudengar kakek berbicara ke nenek dengan bahasa jawa yang sulit kumengerti.

Kakek dan nenek berbicara dengan bunyi pelan sementara saya mencoba untuk menguping dan memahami pembicaraan mereka. Meski banyak kata yang tidak kupahami, tapi saya sanggup menangkap inti dari pembicaraan mereka.

Kakek bercerita kepada nenek bahwa salah seorang warga yang menolong kami menyampaikan pada kakek mengenai kebenaran ceritaku. Orang itu menyampaikan bahwa saya memang melihat sosok hantu tapi tidak niscaya juga itu begu ganjang atau bukan. Yang jelas, saya memang melihat makhluk gaib.

Mendengar kenyataan itu saya pun merapatkan tubuhku ke kaki nenek dan memeluk pinggangnya. Untuk beberapa menit saya terus berusaha untuk melupakan kejadian itu hingga kesudahannya saya benar-benar tertidur.

Sejak kejadian itu, saya tidak mau diajak bermain jauh dari rumah. Sebelum jam lima sore saya niscaya sudah pulang dan tidak akan keluar rumah di malam hari. Jika terpaksa harus buang air besar di malam hari, saya akan meminta kakek atau nenek untuk menemaniku meskipun toilet ada di dalam rumah.
Sumber http://hamilhamil1.blogspot.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Soal Dan Pembahasan Pesawat Sederhana

Contoh Soal Dan Pembahasan Perihal Bundar

Contoh Soal Dan Pembahasan Listrik Statis Aturan Coulomb